Asal Usul Adonara
SEJARAH ADONARA
SIAPAKAH nenek moyang orang Adonara?Sesuai penuturan adat turun temurun, sebagaimana dikemukakan tokoh masyarakat Adonara, H Syamsudin Abdullah (75).
Orang asli Adonara
adalah turunan seorang wanita yang bernama Sedo Lepan.Wanita ini adalah
manusia primitif paling pertama yang menghuni Pulau Adonara.Tubuhnya ditumbuhi
bulu lebat.Wanitan pertama ini muncul bersamaan dengan timbulnya gunung Boleng.
Pada suatu saat
terjadilah suatu keajaiban yang luar biasa dimana tubuh Sedo
Lepan ini "pecah" dan keluarlah seorang wanita lagi yang
kemudian dikenal dengan namaKewae Sedo Bolen. Saat itu, di Pulau Adonara
belum ada manusia lain selain wanita ini. Selama bertahun-tahun ia hidup
sendirian di lereng Ile (gunung) Boleng. Kemudian suatu ketika, datanglah
seorang laki-laki dari pantai selatan Pulau Lembata yang bernama Kelake
Ado Pehan.Ia diusir dari Lembata karena dituduh sebagai seorang suanggi yang
menyebabkan meletusnya Gunung Adowojo.Ia lari dengan menggunakan sebuah perahu
yang terbuat dari sebatang kelapa dan terdampar di selatan pulau Adonara.
Singkat kisah, Kelake
Ado Pehan kemudian bertemu dengan Kewae Sedo Bolen di puncak Ile
Boleng sehingga keduanya menikah. Dari pernikahan kedua manusia pertama di
Pulau Adonara itu, kemudian lahirlah tujuh putra yakni Lado Ipa
Jarangyang( keturunannya ada di Boleng), Mado Paling Tale (keturunannya
ada di Doken), Beda Geri Niha (keturunannya ada di
Nihaona), Duli LedanLabi (keturunannya di Lewoduli), Kia Kara
Bau (keturunannya ada di Wokablolon-Kiwang Ona), Kia Lali
Tokan(keturunannya ada di Lewobelek) dan Sue BukuToran yang (keturunannya
ada di Lewojawa-Lamahala.
Nama Adonara terdapat
dua pengertian.Adonara berasal dari kata "Ado" dan "Nara".
Ado ini mengingatkan orang Adonara akan pria pertama yang hidup di pulau itu
yakni Kelake AdoPehan.Sedangkan "Nara" artinya kampung, bangsa,
kaum kerabat.Jadi Adonara artinya Ado punya kampung, Ado punya suku bangsa, Ado
punya keturunan dan kaum kerabat.
Adonara juga berasal dari kata Adoknara."Adok" yang yang berarti mengadu domba dan "nara" yang artinya kampung, suku bangsa, kaum kerabat, golongan atau Puak.JadiAdoknara artinya mengadudomba warga antarkampung, suku bangsa, kaum kerabat.Pengertian ini merujuk pada watak khas orang Adonara yang "gemar" berperang. Jika hendak berperang, maka para pihak akan menghubungi "nara" yakni keluarga, saudara, kaum kerabat di kampung lainnya agar memihak kepada mereka dalam perang tanding.
Adonara juga berasal dari kata Adoknara."Adok" yang yang berarti mengadu domba dan "nara" yang artinya kampung, suku bangsa, kaum kerabat, golongan atau Puak.JadiAdoknara artinya mengadudomba warga antarkampung, suku bangsa, kaum kerabat.Pengertian ini merujuk pada watak khas orang Adonara yang "gemar" berperang. Jika hendak berperang, maka para pihak akan menghubungi "nara" yakni keluarga, saudara, kaum kerabat di kampung lainnya agar memihak kepada mereka dalam perang tanding.
Adonara juga sering
dikaitkan dengan adu darah, yakni perang tanding yang terjadi di pulau
itu."Dulu di Adonara dan Lembata masih dikenal dengan istilah perang
antara Paji dan Demong.Dimana kelompok Demong berasal dari Lewopoti. Lewoleba,
Tana Boleng, Horuhura, Lewomang, Wollo dan Baipito.Sementara kelompok Paji
berasal dari Menanga, Lamahala, Lamakera, Lebala dan Watampao.
Apa pun pengertiannya
saat ini masih sering kita dengar pertikaian berdarah di Adonara. Masalah tanah
terutama menjadi pemicu terjadinya perang tanding. Watak menyelesaikan sengketa
tanah dengan cara kekerasan ini - sesuai ceritra rakyat - disebabkan nenek
moyang orang Adonara ditempa dengan kehidupan yang keras, dimana peristiwa
pertumpahan darah sudah merupakan hal biasa.
Seorang tokoh muda
asal Lembata, Muhamad Sengnama, mengatakan, anggapan bahwa orang Adonara sampai
saat ini masih identik dengan sifat-sifat keras dan selalu ingin saling
membunuh itu tidak benar.Orang Adonara tidak segan-segan melakukan tindak
kekerasan bahkan sampai membunuh kalau ada masalah yang menyangkut hal-hal
prinsip semisal harkat dan harga diri pribadi, suku dan kampung.
"Tapi sekarang di Adonara sudah banyak
masyarakat terpelajar.Banyak orang pintar di NTT bahkan Indonesia yang berasal
dari Adonara. Sekarang ini yang harus dilakukan oleh orang Adonara yakni
bagaimana menghilangkan image orang luar tentang perilaku keras itu,"
ASAL USUL MANUSIA
ADONARA
Menurut penuturan
sesepuh adat Ile Boleng yang ada di desa Boleng (Lamanele Atawatan), Lamanele,
Lamanele Bawah (Nobo) dan Lama Bajung, bahwa antara Pati Golo dan Ado Pehang
merupakan dua saudara kandung yang datang dengan berlayar dari daerah Rera Gere
(timur). Keduanya mendapat musibah di selat Boleng, mengakibatkan Ado Pehang
terdampar di Lembata, tepatnya wilayah Waibaja Loang. Sementara adenya Pati
Golo terbawa arus dan terdampar di Solor (daerah sekitar Pamangkayo depan Kota
Larantuka sekarang. Dari Solor Pati Golo Melihat cahaya api yang muncul di atas
puncak Ile Mandiri.
Dengan keahlian yang
dimiliki, Pati Golo membuat perahu untuk menyeberang ke Larantuka, dan terus
menyusuri kaki gunung Ile Mandiri menuju sumber api yang dilihatnya. Dan
bertemulah dengan seorang putri Ile Mandiri yang merupakan titisan Rera Wulan
yang kelak menjadi isterinya.Pati Golo memiliki sifat kepemimpin, walaupun dia
adalah adik dari Ado Pehang Beda.Maka Jadilah raja Pati golo yang bergelar
Arakiang merupakan pengakuan dari kerajaan di Sulawesi.Pati golo dan isterinya
putri titisan Rera Wulan Ile Mandiri (Watowele) beranak pinak dan menurunkan
raja-raja lainnya di Lamaholot yang dikenal dengan clan (suku) Demong.
Sebaliknya, Ado
(Pehang) Beda yang terdampar di Waibaja (Loang) mengembara ke pedalaman
Lembata. Dalam pengembaraan, menyusuri sungai Waibaja sampai ke pertengahan
Lembata, beliau tidak menjumpai seorang manusia, di hulu sungai Waibaja, atau
orang pedalaman Lembata (Boto, Atawuwur dan sekitarnya) menyebut Wai Raja, Ado
Pehang Beda menanamkan sebatang pohon cendana, sebagai batas perjalanannya
(katanya hingga kini masih ada).
Selanjutnya Ado Pehang
beda kembali lagi ke Waibaja. Dan di sinilah dia melihat adanya cahaya api di
puncak Ile Boleng. Dengan kemampuan yang dimiliki, Ado Pehang (Beda) membuat
perahu dan menyeberang ke Adonara.Dalam penyeberangan Ado Pehang mendarat di
sebuah selat kecil yang dikenal sampai sekarang dengan sebutan Wai Tolang, di
bawah desa Tanah Boleng sekarang. Daerah yang penuh batu tidak menghalanginya
untuk menemukan sumber cahaya api yang ada di atas gunung. Akhirnya dia
menjumpai suatu tempat yang sangat bersih di bawah sebatang pohon yang sangat
rindang.
Singkat cerita,
ditempat inilah Ado Pehang bertemu dengan Sedo Boleng yang merupakan putri
titisan Rera Wulan Ile Boleng. Atas ijin dan restu Rewa Wulan, Tanah Ekan
keduanya menjadi suami istri, yang kelak disebut klake (blake) Ado Pehang Beda
dan Kwae sedo Boleng). Keduanya juga beranak pinak hingga menurunkan clan (suku
Paji).
Turunan klake Ado
Pehang dan Kwae Sedo Boleng merupakan turunan Rae Kbelan (Anak Wruin) maka
dalam perkembangannya mereka tidak mau dikuasai oleh turunan raja Pati Golo
yang dianggap Rae Rabe Arik.Kelangsungan beranak pinak Klake Ado Pehang dan
Kwae Sedo Boleng agaklah unik.Mereka memiliki keberanian yang mumpuni tetapi
tidak mempunyai jiwa kepemimpin pemersatu, namun tetap hidup dalam keakraban
yang kental.Anak pinak Pehang Beda akhir hidup dengan bekerja sebagai petani
dan mengolah tanah hingga Wai Tolang tempat pendaratan Ado Pehang pertama kali.
Dari sini sebagian dari
mereka menetap di pesisir atau lebih dekat dengan laut yang dikenal dengan
istilah ata watan dan yang tetap dipedalamanan disebut Ata Kiwang (bukan Islam
dan katolik).Perkembangan pelayaran semakin ramai, membuat manusia Ata Watan
sering berhubungan dengan pendatang dari sina Jawa, Ternate Tidore dan
Sulawesi. Karena cara hidup yang berbeda membuat Ata Watan pindah lagi ke
pedalaman, kelompok ini akhirnya menyebar membentuk Lewo Tanah Boleng,
Lamawolo, Lamahelang, Lewo Keleng, dan yang masih di puncak Ile Boleng turun
dan menetap di Haru Bala, Nobo, dan agak kevutara menetap di Lama Bajung.
Manusia Ata Watan yang
bisa berbaur dengan pendatang akhirnya pindah ke Boleng yang dianggap tempat
yang cukup strategis untuk berlabuh perahu, juga berlindung.Penyebaran anak
pinak Ado Pehang tidak sedikitpun mencerai pisahkan tali persaudaraan mereka
hingga kini, karena setiap pesta budaya adat mereka selalu bersatu hingga kini.
Semakin ramainya
hubungan dengan dunia luar terutama dari Ternate, Tidore dari timur serta sina
Jawa dan Sulawesi dari barat dan utara membuat mereka mulai mengenal cara
memimpin dan membentuk raja-raja kecil. Misalnya ada yang menjadi Raja Lama
Hala, Raja Lama Kera, dan raja Terong (kerabat) sedangkan Raja Menaga, Lohayong
merupakan turunan dari Pati Golo.
Sementara Turunan Ado
Pati yang ada di Lamanele (Lamanele, Nobo dan Boleng (tetap dianggap Ata
Kiwang) karena masih tetap berhungan erat dengan orang pedalaman tetap hidup
damai dalam kesatuan adat dan budaya tradisional (perubahan dari adat budaya
primitif) tetap menjadi ata kebelan dan tidak menjadi wilayah kekuasaan Raja
Lamahala, Lamakera, Witihama dan raja-raja lainnya. Manusia Lamanela atau yang
disebut manusia Ile Ae (depan gunung) tetap dianggap ata kebelan oleh raja-raja
sekitarnya, baik raja-raja yang dikenal dengan sebutan Solor Watan Lema, maupun
Raja Witi Hama, Adonara dan Sagu.
Kebesaran Ata Kebelan
Lama Nele disebut Ata Kiwang termasuk Boleng bisa dibuktikan dengan perasasti
sejarah hingga saat ini, seperti:
1. Mendamaikan/menghentikan
perang antara Raja Lama Hala dan Raja Lama Kera. Peperangan ini tidak bisa
didamaikan oleh raja raja dari turunan anak pinak Pati Golo, karena mereka
merasa yang berperang adalah Ata Kebelan.dan mereka menyerahkan sepenuhnya
kepada Kebelan Lamanele.Bukti sejarah hingga kini bisa disaksikan dengan dua
buah benteng dari batu yang berdiri kokoh mengelilingi desa boleng yang
dibangun oleh raja lamakera dan yang mengelilingi desa Lamanele Reren (sekarang
Nobo) yang dibangun oleh Raja Lamahala.
2. Bukti prasasti
lainnya adalah benda berbentuk naga yang terbuat dari emas tanah serta benda2
kuno lainnya yang masih tersimpan rapi di rumah adat Lamanele Reren (Nobo)
merupakan hadiah dari para pendatang buat pembesar Lamanele walaupun bukan
raja.
3. Atas persetujuan
sesepuh adat Lamanele Reren dan Lamanele Blolon, sesepuh Boleng bisa
menghentikan perang antara Paji dan Demong, sehingga terciptalah nama Adonara
oleh anak pinak Pati Golo, bahwa pulau yang ada di depan Larantuka adalah milik
Ado yang merupakan saudara dari Pati Golo. Ado adalah Ado Pehang sementara Nara
adalah saudara.
4. Kehebatan manusia
Lamanele tidak hanya di Adonara, tetapi sampai ke Lembata dan mampu meredam
terjadinya peperangan di Lembata, sebagai hadianya, tanah di pesisir Wai Jarang
hingga Wai Baja diserahkan kepada orang-orang Lamanela Ata Kiwan maupun Ata
Watan. Kepemilikan tanah di Wai Jaran, Wewan Belan, Kwaka, Wai Baja di
kabupaten Lembata hingga kini menjadi milik anak pinak Ado Pehang yaitu (orang
Boleng di Wai Jarang, Wewan Belan, Wai Baja) sementara orang Lamanele Reren
(Nobo) menguasai tanah di Kwaka.
Itulah sekelumit kisah
orang yang saya dengar dari orang tuaku almarhum Bonto Ata Boleng, dan bapa
Belan Gaen Roma Boli, yang merupakan anak cucu dari seorang tua yang beranak
Asan Boleng yang merupakan teman akbar Raja Molo Gong.
PEMERINTAHAN
Adonara sendiri
sebenarnya adalah sebuah pulau yang terletak di kepulauan Nusa Tenggara. Yakni
disebelah timur pulau flores. Luas wilayahnya 509 km2 dan titik
tertingginya 1.676 m. pulau ini dibatasi oleh laut flores disebelah utara,
selat solor diselatan (memisahkan dengan pulau solor) serta selat Lowotobi di
barat (memisahkan dengan pulau flores).
Secara administrative,
pulau Adonara termasuk wilayah kabupaten flores timur, provinsi Nusa Tenggara
Timur, Indonesia. Adonara merupakan satu diantara dua pulau utama pada
kepulauan di wilayah Kabupaten flores timur. Awalnya terdiri dari 2 kecamatan
yang kemudian dikembangkan menjadi 7 kecamatan. Adonara dahulu
merupakan sebuah kerajaan yang didirikan pada tahun 1660 sampai saat
sekarang Adonara terus berbenah baik dalam infrastruktur dan prasarana yang ada
didaerahnya.
PARIWISATA
Pesona wisata budaya
menjadi andalan dari pulau yang satu ini karena sampai dengan saat sekarang
dimana refolusi teknologi tengah melanda dunia.Adonara masih berpegang teguh
pada norma-norma dan adat istiadat.Sehingga tidak mengherankan kalau Adonara
menjadi daerah tujuan wisata dari wisatawan mancanegara dan domestik.Tempat
wisata yang sering dijadikan sebagai referensi bagi pelancong adalah desa-desa
yang mempunyai basis budaya seperti rumah-rumah adat.Upacara adat seperti
upacara pemanngilan hujan pada masa menjelang musim tanam upacara PA’O
NUBA NARA, dan masih banyak yang lainnya.Selain wisata budaya Adonara mempunyai
tempat-tempat wisata seperti danau KOTA KAYA dan wisata pantai. Suatu pesona
wisata yang masih sangat perawan dengan memiliki pantai yang sangat eksotis,
hamaparan pasir putih sepanjang mata memandang dengan deburan ombak yang memicu
adrenalin bagi mereka yang senang surfing. Untuk akses ke Adonara sendiri, anda
cukup menyeberang kurang lebih 30 menit dengan menggunakan kapal motor laut
dari ibukota kabupaten flores timur, larantuka.
BUSANA
PERKAWINAN ADAT ADONARA
Perkawinan merupakan
peristiwa paling mendebarkan dalam kehidupan insan manusia. Dalam landscape
budaya Adonara-Flores Timur perkawinan juga merupakan titik peleburan
cultural-spiritual, tidak hanya bagi pasangan pengantin, tetapi juga
rumpun-rumpun keluarga terkait. Karena setiap perkawinan di dahului dan
senantiasa terbingkai dalam berbagai prosesi adat. Pada puncak prosesi
perkawinan adat, pasangan pengantin dipersatukan dan dikenakan busana pengantin
tradisional lengkap dengan berbagai pernak pernik aksessorisnya.
Untuk busana wanita
tersedia berbagai alternative kain dengan nama dan ciri khas motif dan
warnanya. Masing-masing kain ini disebut Kwatek. Sedangkan mempelai pria mengenakan
Nowin. Nowin inilah yang dikenakan model pengantin pria. Pascalis berwajah
tampan rupawan asli Adonara ini.
Nowin merupakan tenun
ikat yang dalam hal pewarnaannya datar dan tidak mencolok. Ragam hias Nowin
berbentuk garis-garis. Model pengantin pria juga mengenakan aksessoris yang
terdiri dari; Kenobo (kain yang dililit dibagian kepala), Kalabala (gelang
gading), Lodang, dan Pastipo.
Pastipo adalah sebilah
keris yang sarungnya bisa terbuat dari tanduk hewan atau lempengan emas. Batang
gagang Pastipo juga berupa emas sehingga Pastipo juga berfungsi sebagai belis
atau mahar bagi kalangan bangsawan adonara.
Kemudian Kewatek yang
dikenakan model pengantin wanita. Alvina Daeng dengan raut wajah cantik
oriental klasik khas Adonara ini, bernama Tenapi.
Tenapi merupakan tenun
ikat berbahan dasar sutra asli dan Tenapi yang saat ini dikenakan model
pengantin wanita ini sudah berusia lebih dari satu abad lebih yang diwariskan
secara turun temurun dari generasi ke generasi. Aksessorisnya terdiri dari,
Mahkota Bulan (Kiri Belaon) yang terletak dibagian kening adalah symbol “Rera
Wulan Tanah Ekan” sebagai penerang atau sumber cahaya.
Sidok yakni kalung yang
terbuat dari manik-manik batu berkoombinasi emas. Lodang, gelang gading
(kalla). Anting-anting dan Cincin Selaka (Killa).
Motif utama Tenapi
adalah kuntum bunga. Bunga berarti keindahan. Bunga berasal dari pohon. Pohon
berpucuk di langit dan berakar di bumi. Pohon adalah lambang jembatan spiritual
yang menghubungkan manusia dengan dua kosmik, (Langit & Bumi—Alam &
Tuhan). Ragam hias Tenapi terdiri dari garis-garis horizontal dengan kombinasi
warna yang senada terbentang sejajar pada keseluruhan kain. Kombinasi utama
permainan warnanya berupa warna alam. Warna alam adalah symbol bahwa manusia
bermula dari debu dan berakhir pada debu
Tanah Tadon Adonara
adalah sebuah sebutan kebanggaan bagi setiap Putra/i yang berasal dari Adonara.
Nama pulau "Adonara" tidak hanya terkenal dilingkungan Flores, NTT
atau Nasional, namun nama ini juga cukup dikenal di luar negari hingga saat
ini.Adonara memiliki suatu sejarah peradaban manusia yang sangat unik, serta
karakter manusianya juga berbeda dengan wilayah sekitarnya, bahkan Indonesia.
MANUSIA PERTAMA ADONARA
Kisah oral yang akan dituturkan di bawah ini tidak untuk menandingi kisah-kisah oral yang sudah ditulis oleh para pencinta Tanah tadon Adonara. Akan tetapi untuk memperkaya wawasan dalam menggali kepribadian dan budaya masa lalu Adonara sebagai bagian dari sumbangan pikiran menuju Adonara Jadi "KABUPATEN".
Menurut kisah oral yang
dituturkan dari lisan tetua adat dari hampir seluruh wilayah di pulau Adonara
memiliki kesamaan namun tidak serupa. Sebagai salah satu sumber kisah oral dari
al marhum B. Ataboleng ( desa Boleng )bahwa :
Saat itu ada dua saudara kandung berlayar dari arah timur ( arah rera gere ), setelah tiba diselat boleng, mereka mengalami musibah dan perahu mereka hancur, dan keduanya hanyut terbawah arus, yang sulung (Ado Pehang ) terdampar di pulau Lembata dan yang bungsu ( PG/ ) terbawa arus hingga terdampar di pulau flores.
Saat itu ada dua saudara kandung berlayar dari arah timur ( arah rera gere ), setelah tiba diselat boleng, mereka mengalami musibah dan perahu mereka hancur, dan keduanya hanyut terbawah arus, yang sulung (Ado Pehang ) terdampar di pulau Lembata dan yang bungsu ( PG/ ) terbawa arus hingga terdampar di pulau flores.
Dengan kemampuan yang
dimiliki, Kelake Ado Pehang mengembara mencari perkampungan untuk sekedar
meminta bantuan. Pengembaraan sampai di daerah Boto dan Atawuwur Pedalaman
Lembata. Tidak ada satu kampung / orangpun yang dijumpainya. Sebagai tanda
pengembaraannya, di daerah Boto, yang dikenal dengan sebutan Wai Raja (
sekarang ) Ado Pehang menanam sebatang Pohon Cendana, yang hingga tahun 1970 an
pohon ini masih ada. Beliaupun kembali lagi kepesisir. Dalam perjalanannya ini
ia melihat ada cahaya api di puncak gunung Boleng. Dengan keahlian yang ada ia
membuat sampan dan berupaya menyeberang selat Boleng untuk mendatangi sumber
cahaya (api).
Singkat kisah, ia
menyeberang selat boleng yang ganas itu dan mendarat disalah satu tempat yang
sekarang disebut Wai Tolang ( torang )daerah pesisir antara desa Tanah Boleng,
Lamawolo sekarang. Daerah yang penuh dengan bebatuan cadas yang tajam dan
jurang, tidak menghalanginya untuk menemukan sumber cahaya api yang ada di atas
gunung.
Akhirnya dia samapi
juga dipuncak gunung dan menemukan sebuah sebatang pohon yang sangat rindang
serta lingkungannya yang bersih dan rapi. Dan ditempat inilah Ado Pehang
pertama kali bertemu dengan kwae Sedo Boleng yang merupakan putri titisan Rera
Wulan Ile Boleng. Atas ijin dan restu Rewa Wulan - Tanah Ekan keduanya menjadi
suami istri dan menurunkan anak pinak menjadi manusia Adonara. Kisah penyebaran
Keturunan dari Klake Ado Pehang dan Kewae Sedo Boleng juga memiliki kesamaan
tapi tak serupa. Ada yang mengatakan anak dari kedua manusia pertama Adonara
ini terdiri dari tujuh orang putri ( terputus kisahnya ) dan tujuh putra.
Sementara yang dituturkan oleh B. Ata Boleng, ada sebeles orang Putra yaitu :
1. Asan
Lau Tadon dan Laba Ipe Jarang yang merupakan Anak Sulung ( Ana Wruing ) dan
anak bungsu ( ana wutun ) tetap tinggal di Lama Nele Blol'on. Setelah itu Asan
Lau Tadon pindah ke Lamanele Rer'en dan seterusnya ke Boleng. keturunan kedua
kakak beradik ini tersebar di Lamanele Blol'on, Lamanele Rer'en, Lama Bajung
dan Boleng.
2. Mado Paling Tale, yang keturunannya tersebar di Desa Doken, Lama Wolo Blol'on dan sekitarnya.
3. Beda Geri Niha, yang keturunannya tersebar di Niha Ona dan sekitarnya.
4. Duli Ledan labi, yang keturunannya tersebar di Lewoduli dan sekitarnya
5. Kia karan bau, yang keturunannya tersebar di Wokablol'on, Kiwang Ona, Lama Louk dan sekitarnya.
6. Kia Lali Tokan, yang keturunannya tersebar di Witihama dan sekitarnya
7. Sue Buku Taran, yang keturunannya tersebar di Lama Hala dan sekitarnya.
8. Laga Doni, Subang Bur'an dan Subang Miten, yang keturunannya tersebar di wilayah belakang gunung ( Ile Boleng ),juga sebagian wilayah Lembata bagian utara.
Kisah oral yang dituturkan oleh almarhum B. Ata Boleng ( tahun 1970 an ) tersebut bisa juga dituturkan kembali oleh seorang Putranya yang bernama Bapak Yasir Ahmad seorang tetua adat desa Boleng.
Dari uraian fargmen kisah oral manusia
pertama adonara di atas, dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa memiliki kesamaan
kisah antar setiap tetua adat setiap desa di daratan
ADONARA
Sebutan / Nama Pulau
Adonara tidak bisa disandingkan dengan sebutan Kerajaan Adonara yang ada di
Adonara Barat. Karena Kerajaan Adonara sebelumnya bernama Liang Lolon, yang
rajanya berasal dari kaum bangsawan kerajaan islam Ternate dan Tidore.
Sementara dibelahan
Timur Adonara ada kerajaan Lama Hala, Bani One ( terong ) serta dua kerajaan di
pulau Solor yaitu Menanga, Lama Kera serta sebuah kerajaan Lebala ( lembata )
telah membuat kesepakatan dengan VOC tahun 1613 untuk menahan laju perkembangan
kekuasaan Portugis yang sudah membangun bentengnya di Lohayong.
Portugis yang merasa
mendapat rintangan dari kelima kerajaan di atas serta VOC kembali berusaha
untuk mendekati kerajaan Liang Lolon yang saat itu tidak bersahabat dengan
Belanda. Untuk menunjukan Kekuasaannya, Portugis merubah nama Kerajaan Liang
Lolon menjadi Kerajaan Adonara sebagai upaya mengelabui VOC bahwa selain
Lohayong, Adonara secara keseluruhan telah bersekutu dengan mereka.
Sebenarnya nama Adonara
sudah ada sebelum bangsa Asing datang. Dari namanya, "ADO" diambil
dari nama depanPria pertama yang datang ke Ile Boleng yaitu Kelake Ado Pehang
dan "NARA" berarti Saudara ( seketurunan ), kerabat, kampung. Juga
Adonara tidak identik dengan Adok Nara ( mengadu domba ) antara sesama saudara
sesuai dengan karakter dan budaya perang tanding manusia adonara.
Dalam perkembangannya,
sebelum bangsa Eropa datang, pembagian kelompok besar manusia Adonara juga
sudah ada, yaitu Demong dan Paji. Ada kisah yang menuturkan, "DEMONG"
di identikan dengan manusia Adonara yang ada dibelahan Barat Adonara, sementara
"PAJI" identik dengan Manusia Penghuni Belahan Adonara Timur.
Sementara tutur yang lain Demon identik dengan Kiwang ( manusia Pedalaman ) dan
Paji adalah Watan ( manusia Pesisir ) bukan Islam dan kristen. Yang lagi Demong
umumnya dari lembata dan manusia pedalaman Adonara termasuk Boleng, Paji
identik dengan Manusia Pesisir Adonara yang sudah menerima Islam dan
Kerajaan-kerajaan Islam yang ada di solor dan lembata. Sejarah dalam bentuk
kisah oral tidak pernah mengungkapkan sebuah kelompok manusia Adonara lain yang
tidak sedikitpun memiliki ambisi kekuasaan. Kelompok ini menurut penuturan
tetua adat B. Ata Boleng bahwa kelompok ini di sebut "Lamanele" yang
tidak lain adalah turunan dari Asan Lau Tadon sebagai ana wruing dan Laba Ipe
Jarang ana wutun dari Kelake Ado Pehang dan Kewae Sedo Boleng. Kelompok ini
tidak pernah memihak kepada Paji maupun Demong, tapi lebih sering sebagai
"Juru Damai" dari pertikaian anak pinak dari saudara-saudara mereka.
Hal ini dapat dilihat dari bukti ata kebelan di lingkungan Lama Nele.
1. Boleng sebagai satu-satunya desa yang berpenduduk 100 % agama Islam dengan dikelilingi oleh belasan desa yang berpenduduk beragama Katolik. Desa Boleng sebagai desa Islam tidak masuk dalam kelompok Watan Lema.Dari segi pemimpin ( berhubungan dengan pihak asing ) kelompok Lamanele memberikan kepada manusia Pendatang, tetapi urusan adat ( Pehen Lewo Kot'an, Lewo Lein, Ata Molan, Bau behin lewo tanah ) semuanya tetap dipegang anak anak pinak dari Asan Lau tadon dan Laba Ipe Jarang.
2. Pernah terjadi Perang antar Paji dan Demong, yang mendamaikan adalah Asan Boleng ( anak cucu Asan Lau Tadon ) dengan sebuah perjanjian persaudaran antara Paji - Demong. Bukti ini dapat dilihat dari sebuah batu prasasti yang ada di pinggir desa Lama Wolo Rer'en )dengan pembentukan desa kembar ( lewo Najhun Bajhan ) antara Lama Wolo dan Boleng. Desa Boleng ( Kelompok Lama Nele ) tidak perlu menguasa daerah Tanah Boleng, Lewo keleng, Dokeng, Tobi, karena itu menjadi saudara lamawolo, begitu pula sebaliknya. Perjanjian adat ini masih berlaku sampai ( mungkin ) saat ini, seperti :
Dalam hal Adat.
Ø Apabila
terjadi perkawinan antara kemamun / kebarek Boleng dengan Kemamun / Kebarek
Lama Wolo, urusan belis ( mas kawin / bala ) tidak dibicarakan secara terbuka,
bahkan bisa tidak dibicarakan. Padahal, masalah belis seorang kebarek merupakan
harga diri suatu suku/marga bahkan desa, bahkan sering menjadi pemicu
peperangan.
Ø Dalam
urusan adat untuk bangun lewotanah suku ekan pun, kedua desa selalu saling
memberitahukan dan urun rembug, termasuk pesta adat Lewo tanah dan masih banyak
hal lain.
Dalam hal Olah Raga.
Ø Setiap
ada pertandingan Bola antar desa sekecamatan Adonara Timur bahkan di luar
wilayah kecamatan, kesebelasan desa Boleng pasti separuhnya dari pemain desa
Lama Wolo, begitu pula sebaliknya. Hal ini tidak menjadi masalah bagi
kesebelasan dari desa-desa lain yang ikut bertanding.
3. Peperangan
merebut pengaruh dalam lingkup solor watan lema antara Kerajaaan Lama Hala dan
Kerajaan Lama Kera yang ada di ujung timur pulau Solor. Proses perundingan
perdamaian bukan dilakukan oleh kerajaan Bani One ( Terong ) tetangga Lama Hala
atau Kerajaan Menanga ( lohayong ) tetangga Lama Kera. Pada hal, sejarah
mencatat bahwa keempat kerajaan ini adalah sama-sama dalam satu kelompok
kerjasama dalam Solor Watan Lema. Atas musyawarah mufakat dan menentukan harus
orang Boleng yang harus mendamaikan peperangan ini, karena mereka adalah
turunan dari ana weruin dari Kelake Ado Pehang walau mereka ( rae bukan ata
Kebel'an dan bukan bula ata Ribu ).
Siapa tokoh perdamaian Peperangan ini, tidak lain dan tidak bukan adalah Asan Boleng Laj'an Laka. Setelah berdamai, sebagai simbol pengorbanan tersebut, Asan Boleng meminta agar masyarakat kerajaan Lama Kera membangun benteng Batu mengelilingi Desa Boleng dan Masyarakat Kerajaan Lama Hala membangun benteng yang sama untuk Desa Lama Nele Reren. Pembengunan benteng ini bertujuan untuk melindungi wilayah kaka weruin tidak diserang oleh musuh. Bukti prasasti ini masih berdiri kokoh di Boleng dan Lama Nele Rer'en ( Nobo ).
4. Bukti bahwa Wilayah Lama Nele ( Lama Nele Blol'on, Lama Nele Rer'en, Lama Bajung dan Boleng bukan wilayah kekuasaan dari salah satu dari Kelompok kerajaan Solor Watan Lema, atau kerajaan Adonara, atau salah satu dari wilayah Paji atau Demong ialah, Setiap desa tersebut memiliki otonomi sendiri-sendiri dalam mengurus desanya, tapi tetap terikat dalam satu kesatuan Lamanele. memiliki satu rumah adat, serta bebas berhubungan dengan para saudagar dari Jawa, Ternate, Tidore dan Sulawesi tanpa harus ada persetujuan dari kerajaan2 solor watan Lema, maupun Kerajaan adonara. Salah satu bukti prasasti yang hingga saat ini adalah Adanya Naga Emas yang bertuliskan aksara Arab, juga bejana yang berbentuk Dandang tersimpan rapi di rumah Adat desa Nobo, yang dihuni oleh Ama Sius raya.
5. Kemudian salah satu bukti nyata yang terdapat di wilayah Lembata, Berkat kedigjayaan kelompok Lama Nele dalam membantu kerusuhan di lembata. Untuk jasanya tersebut, Desa Boleng mendapat hadiah Tanah berpuluh hektar di Wai jarang dan Wai Baja, Orang Nobo mendapat bagi di Kewaka dan lamanele Belol'on mendapat jatah di sekitar wilayah Pada dan hukun. Dapat dikatakan Tanah di pesisi Utara Lembata terbentang dari Perbatasan lewo Leba sampai wai Baja ( panjangnya Puluhan Kilo meter ) dikuasai oleh Manusia Lama Nele yang tidak lain adalah Anak Pinak dari Asan lau tadon dan Laba Ipa Jarang sampai saat ini.
Kisah oral yang dituturkan para tetua adat Kelompok Lama Nele serta bukti prasasti yang tersimpan hingga saat ini, menunjukan bahwa di Adonara Bukan saja ada dua kelompok, tapi masih ada lagi Kelompok Lamanele yang memiliki kemandirian dan otonomi serta bebas dari cengkraman kerajaan-kerajaan yang ada. Selain ini Kelompok Lamanele juga tidak memiliki Ambisi kekuasaan sama sekali, tetapi selalu jadi juru damai bagi peperangan yang terjadi di Adonara. Seandainya ada ambisi kekuasaan, maka tidaklah susah bagi Anak Pinak dari Asan lau tadon dan Laba Ipa Jarang bisa menjadi penguasa besar baik dalam kelompok Paji - Demong maupun Kelompok Kerajaan Solor watan Lema.
ADONARA KABUPATENKU.
Siapa tokoh perdamaian Peperangan ini, tidak lain dan tidak bukan adalah Asan Boleng Laj'an Laka. Setelah berdamai, sebagai simbol pengorbanan tersebut, Asan Boleng meminta agar masyarakat kerajaan Lama Kera membangun benteng Batu mengelilingi Desa Boleng dan Masyarakat Kerajaan Lama Hala membangun benteng yang sama untuk Desa Lama Nele Reren. Pembengunan benteng ini bertujuan untuk melindungi wilayah kaka weruin tidak diserang oleh musuh. Bukti prasasti ini masih berdiri kokoh di Boleng dan Lama Nele Rer'en ( Nobo ).
4. Bukti bahwa Wilayah Lama Nele ( Lama Nele Blol'on, Lama Nele Rer'en, Lama Bajung dan Boleng bukan wilayah kekuasaan dari salah satu dari Kelompok kerajaan Solor Watan Lema, atau kerajaan Adonara, atau salah satu dari wilayah Paji atau Demong ialah, Setiap desa tersebut memiliki otonomi sendiri-sendiri dalam mengurus desanya, tapi tetap terikat dalam satu kesatuan Lamanele. memiliki satu rumah adat, serta bebas berhubungan dengan para saudagar dari Jawa, Ternate, Tidore dan Sulawesi tanpa harus ada persetujuan dari kerajaan2 solor watan Lema, maupun Kerajaan adonara. Salah satu bukti prasasti yang hingga saat ini adalah Adanya Naga Emas yang bertuliskan aksara Arab, juga bejana yang berbentuk Dandang tersimpan rapi di rumah Adat desa Nobo, yang dihuni oleh Ama Sius raya.
5. Kemudian salah satu bukti nyata yang terdapat di wilayah Lembata, Berkat kedigjayaan kelompok Lama Nele dalam membantu kerusuhan di lembata. Untuk jasanya tersebut, Desa Boleng mendapat hadiah Tanah berpuluh hektar di Wai jarang dan Wai Baja, Orang Nobo mendapat bagi di Kewaka dan lamanele Belol'on mendapat jatah di sekitar wilayah Pada dan hukun. Dapat dikatakan Tanah di pesisi Utara Lembata terbentang dari Perbatasan lewo Leba sampai wai Baja ( panjangnya Puluhan Kilo meter ) dikuasai oleh Manusia Lama Nele yang tidak lain adalah Anak Pinak dari Asan lau tadon dan Laba Ipa Jarang sampai saat ini.
Kisah oral yang dituturkan para tetua adat Kelompok Lama Nele serta bukti prasasti yang tersimpan hingga saat ini, menunjukan bahwa di Adonara Bukan saja ada dua kelompok, tapi masih ada lagi Kelompok Lamanele yang memiliki kemandirian dan otonomi serta bebas dari cengkraman kerajaan-kerajaan yang ada. Selain ini Kelompok Lamanele juga tidak memiliki Ambisi kekuasaan sama sekali, tetapi selalu jadi juru damai bagi peperangan yang terjadi di Adonara. Seandainya ada ambisi kekuasaan, maka tidaklah susah bagi Anak Pinak dari Asan lau tadon dan Laba Ipa Jarang bisa menjadi penguasa besar baik dalam kelompok Paji - Demong maupun Kelompok Kerajaan Solor watan Lema.
ADONARA KABUPATENKU.
Sekelumit kisah tentang Manusia adonara di atas, tidak bermaksud untuk menandingi kisah-kisah oral yang dituturkan oleh para tetua adat atau agama di daerah lain di adonara atau Solor dan Lembata.Saya bahkan sangat bangga dengan semua kisah yang dituturkan. Namun ulasan ini hanya untuk mengatakan bahwa di Pulau adonara sejak dulu hingga kini pasti terdapat manusia-manusia yang tidak memiliki ambisi kekuasaan dan bisa menjadi penengah dalam semua pertentang yang muncul.
Kita mengetahui dengan Pasti bahwa Sumber Daya Alam ( SDA ) dan juga Sumber Daya Manusia ( SDM ) pulau Adonara tidak diragukan lagi menjadi modal berdirinya Kabupaten Adonara.
Langgam Adonara Jadi
Kabupaten sudah didendang sejak lama, bahkan pada Orde Lama, yaitu ketika ketua
DPRD Gotong Royong Dati II Flores Timur Tuan De Rosari memimpin Rapat dewan
pada tanggal 17 Oktober 1963 memutuskan untuk memperjuangkan pemekaran
Kabupaten Flores Timur menjadi :
1. Kabupaten
Flores Timur dengan wilayah Flores Timur daratan dan Pulau Solor dengan Ibukota
Larantuka.
2. Kabupaten
Lembata ( dulu Lomblen ) dengan Ibukota Lewoleba
3. Kabupaten
Waiwerang dengan Ibukota Waiwerang.
Orde Lama pun berganti
dengan Orde Baru, Perjuangan masyarakat Adonara dan Lembata pun bagaikan
ditelan bumi, tidak pernah didengungkan lagi. Baru setelah masa Orde Reformasi
dengan ditandai Pemilihan Umum tahun 1999, gaung pemekaran Adonara dan Lembata
mulai dikumandangkan kembali. Dan Akhirnya Lembata yang selama ini kurang
dianggap oleh Adonara berhasil memisahkan diri dari Kabupaten Induk Flores
Timur, sementara Adonara masih tetap menjadi bagian Flores Timur.
Kaget dengan keberhasilan Lembata, tokoh masyarakat dan masyarakat Adonara baik yang ada di Tanah Tadon Adonara maupun di luar mulai mendengungkan kembali keinginan pembentukan Kabupaten Adonara
Kaget dengan keberhasilan Lembata, tokoh masyarakat dan masyarakat Adonara baik yang ada di Tanah Tadon Adonara maupun di luar mulai mendengungkan kembali keinginan pembentukan Kabupaten Adonara
Jagung Titi
Makanan khas Adonara
Jagung
Titi atau emping jagung merupakan makanan khas dari pulau Adonara Nusa Tenggara
Timur. Jagung titi merupakan makanan pokok disamping makan nasi. Walaupun
rasanya tawar tapi jagung titi sangat digemari oleh masyarakat Adonara. Jagung
titi atau dalam bahasa Lamaholot bahasa daerah setempat disebut Wata Kenaen
menjadi makanan pokok disamping nasi. Jagung titi terbuat dari biji jagung
dengan proses pembuatannya cukup unik. Jagung dilepas dari batangnya menjadi
biji jagung yang terpisah. Biji jagung ini kemudian disangrai dengan
menggunakan wajan yang terbuat dari tanah liat. Cara sangrainya pun tidak
sekaligus semua, tetapi sekitar 10 biji setiap kali masak. Setelah dirasa
cukup matang, biji jagung tersebut dikeluarkan kemudian dipipihkan dengan
menggunakan dua buah batu. Satu batu berfungsi sebagai alas dan yang lainnya
menjadi pemukul. Untuk mengeluarkan biji jagung dari wajan yang masih panas,
para wanita Adonara tidak menggunakan alat bantu lain tetapi hanya menggunakan
tangan. Jagung titi sendiri sudah ada sejak jaman nenek moyang di Adonara.
Biasanya dimakan pada saat pesta adat, pesta nikah maupun untuk makanan
sehari-hari. Jadi bila sedang melakukan perjalanan ke Adonara, pasti akan
mencicipi makanan khas ini. (suh)
PERKAWINAN
Suatu proses peralihan yang terpenting dalam kehidupan
seluruh umat manusia adalah saat peralihan dari tingkat hidup remaja ke tingkat
hidup berkeluarga yaitu ditandai dengan suatu perkawinan. Dipandang dari sudut
pandang kebudayaan manusia, maka perkawinan merupakan pengatur kelakuan manusia
yang bersangkut paut dengan kehidupan sexnya, dimana kelakuan-kelakuan sexnya
yang utama adalah persetubuhan. Dengan suatu perkawinan dapat menyebabkan
seorang laki-laki dalam pengertian masyarakat tidak boleh bersetubuh dengan
sembarang wanita lain melainkan dengan satu atau beberapa wanita tertentu dalam
masyarakatnya. Perkawinan juga mempunyai beberapa fungsi lain dalam
kehidupan kebudayaan dan masyarakat manusia. Pertama-tama perkawinan juga memberikan
ketentuan hak dan kewajiban serta perlindungan kepada hasil persetubuhan, ialah
anak-anak, kemudian perkawinan juga memenuhi kebutuhan manusia akan seorang
teman hidup, memenuhi kebutuhan akan harta, akan gengsi dan naik kelas
masyarakat, sedangkan pemeliharaan hubungan baik antara kelompok-kelompok
kerabat yang tertentu juga merupakan alasan dari perkawinan.
Sungguhpun demikian, lepas dari apapun juga, maksud dan alasan dari perkawinan,
perbuatan sex selalu termaktub didalamnya.
Pengertian perkawinan juga menunjukan bahwa perkawinan
merupakan bentuk kontrak sosial antara laki-laki dan perempuan untuk hidup
bersama. Kontrak sosial tersebut juga bisa disyahkan oleh kebiasaan/adat, oleh
agama, oleh negara atau ketiga-tiganya. Pada masyarakat modern indonesia, perkawinan
banyak dipengaruhi oleh tradisi, agama dan modern (negara).
Semua masyarakat didunia mempunyai larangan-larangan
terhadap pemilihan jodoh bagi anggota-anggotanya. Sebagai proses sosial,
perkawinan pada masyarakat yang satu dengan yang lainnya tentulah berbeda-beda.
Pada masyarakat tertentu ada yang melarang perkawinan dengan pasangan dari
daerah/marga/suku yang sama. Pada masyarakat lainnya justru mengharuskan. Ada
masyarakat yang melarang perkawinan dengan lebih dari satu pasangan. Masyarakat
lainnya justru membolehkan perkawinan dengan pasangan lebih dari satu pasangan.
Pada akhirnya, terdapat pembatasan-pembatasan dalam hal perkawinan. Pembatasan
bisa meliputi aspek asal pasangan, jumlah pasangan, jumlah pasangan untuk
perkawinan yang kesekian kalinya. Diluar pembatasan perkawinan, juga dikenal
pantangan perkawinan. Perkawinan yang dilarang, secara universal perkawinan
tersebut diistilahkan sumbang/incest.
Ada beberapa bentuk perkawinan yang dapat dijumpai
dalam masyarakat diantaranya, endogami, eksogami, monogami, poligami, levirat,
sororat, perkawinan berturut, perkawinan kelompok.
Perkawinan yang harus dilakukan dengan memilih pasangan
hidupnya berasal dari desa/marga/kasta/keluarganya sendiri. Perkawinan seperti
ini kemudian melahirkan istilah endogami desa, endogami marga, endogami kasta
atau endogami keluarga inti, dan sebagainya. Pada
masyarakat Lamaholot khususnya masyarakat adonara tidak diperbolehkan melakukan
endogami terutama endogami antar marga ataupun keluarga inti sampai pada
generasi seterusnya yang menikah dalam satu klen.
Eksogami, mengharuskan orang untuk kawin dengan
pasangannya diluar batas sosial tertentu. Bentuk perkawinan ini juga melahirkan
konsep eksogami desa, eksogami keluarga, eksogami kasta dan eksogami keluarga
inti. Dalam masyarakat adonara, perkawinan jenis ini bisa saja terjadi dalam
desa sendiri asalkan diluar marga ataupun klen. Menurut pandangan saya, bila
seseoang memilih pasangan hidupnya baik antar marga, antar desa, antar kasta (bangsawan
= Ata kebel’en) akan menambah hubungan yang erat dan memperbanyak famili, yang
biasa tampak pada acara kematian, acara perkawinan ataupun melakukan acara adat
lainnya, semua saudara yang mempunyai hubungan famili baik dari pihak keluarga
laki-laki maupun pihak perempuan, berdatangan dan bersama-sama melaksanakan
suatu acara adat. Dalam hubungan famili ini, sesuatu yang khas bagi masyarakat
adonara adalah dalam masyarakat selalu menjaga hubungan tersebut samapai pada
melihat generasi sebelumnya, dimana ada satu hubungan darah yang sama pada
nenek moyang mereka berasal. Dari sudut pandang ini, maka dalam melaksanakan
acara baik perkawinan, kematian atau acara adat lainnya selalu adanya tanda
pemberian baik itu materi maupun nonmateri kepada familinya yang melaksanakan
suatu acara adat. Hal inilah yang menandakan betapa kuatnya hubungan
kekeluargaan dalam masyarakat lamaholot, khususnya masyarakat adonara, sehingga
dalam praktek kehidupan sosial budayanya sangat berat dirasakan.
Monogami, perkawinan yang dilakukan dengan antara
seorang laki-laki/perempuan dengan seorang istri/suami. Pada keluarga inti di
adonara lebih bersifat monogami.
Poligami, perkawinan yang membolehkan pasangannya
memiliki lebih dari satu istri/suami. Keluarga poligami memiliki potensi
memunculkan masalah perselisihan diantara pasangan. Jenis perkawinan seperti
ini khususnya bagi masyarakat adonana sangat dilarang, akan tetapi dalam
kenyataan didalam masyarakat masih ditemukan perkawinan jenis poligini akan
tetapi tidak terlalu banyak, dan konsekuensi dari jenis perkawinan ini bahwa
dalam agama khususnya agama kristen-katolik yang dianut sebagian besar
masyarakat lamaholot tidak mendapat berkat dari pastor sebagai pasangan yang
sah, karena sudah melanggar hukum gereja. bentuk poligami masih dapat dibedakan
atas dua bentuk, yaitu poligini dan poliandri. Poligini merupakan
kebiasaan perkawinan dimana seseorang laki-laki memiliki beberapa orang istri.
Perkawinan semacam ini seringkali menimbulkan perselisihan diantara para istri.
Untuk meminimalisisr perselisihan antar para istri, perkawinan bisa dilakukan
dengan poligini soroal. Poligini Soroal adalah perkawinan yang
dilakukan dengan perempuan-perempuan yang masih memiliki hubungan persaudaraan.
Dengan poligini soroal diharapkan para istri dapat saling menyesuaikan diri dan
bisa hidup bersama-sama dalam sebuah rumah tangga.Sedangkan poliandri adalah
seorang perempuan memiliki beberapa orang suami.
Perkawinan Levirat adalah perkawinan dimana seorang
janda kawin dengan saudara laki-laki suaminya yang sudah meninggal.
Perkawinan Soroat, merupakan perkawinan dimana seorang
duda kawin dengan saudara perempuan istrinya yang sudah meninggal.
SYARAT-SYARAT
DALAM SUATU PERKAWINAN
Perkawinan sebagai suatu peristiwa sosial yang luas,
tidak hanya melibatkan dua orang yang akan kawin semata. Perkawinan setidaknya
melibatkan dua keluarga, orang yang berinisiatif untuk kawin harus memiliki
syarat-syarat yang telah ditentukan oleh budayanya. Syarat-syarat perkawinan
meliputi:
1. Mas
kawin/bride price
2. Pencurahan
tenaga untuk kawin/bride-services
3. Pertukaran
gadis/bride-exchange.
Dari
ketiga syarat-syarat perkawinan yang tersebut diatas, syarat pertama yaitu mas
kawin/bride price yang paling dominant dipraktekan pada masyarakat lamaholot,
khususnya masyarakat yang berada di pulau adonara. Oleh sebab itu dalam paper
ini saya memaparkan syarat-syarat mas kawin/ belis dan tata cara adat dalam
sebuah proses perkawinan yang ada dalam masyarakat adonara.
Mas kawin/bride price adalah merupakan sejumlah
harta/materi yang diberikan laki-laki kepada perempuan yang akan dinikahinya
dan atau kepada kerabatnya. Mas kawin/bride-price yang dalam bahasa lamaholot
disebut Welin, dan welin ini berupa gading gajah yang merupakan suatu syarat
mutlak yang harus diberikan pihak laki-laki kepada pihak perempuan yang hendak
dinikahinya.
Dalam sistem sosial budaya masyarakat lamaholot pada
umumnya dan masyarakat Adonara pada khususnya, mempunyai satu corak
keistimewaan yaitu sistem perkawinan, dimana belis untuk seorang gadis (Kebarek) itu
adalah Gading. Pemberian mas kawin berupa gading gajah di Pulau Adonara
sekarang ini masih dipraktikkan secara ketat. Tidak ada perkawinan tanpa
gading. Batang gading itu tidak hanya memiliki nilai adat, tetapi juga
kekerabatan, harga diri perempuan, dan nilai ekonomis yang tinggi.
Meski perkembangan ilmu dan teknologi informasi terus
merembes sampai ke pelosok-pelosok desa di Pulau Adonara, mas kawin berupa
gading gajah tidak pernah hilang dari kehidupan mereka. Kehidupan orang Adonara
secara keseluruhan berada dalam suasana adat yang kuat, yang mengikat.
“Gading gajah tidak hanya mengikat hubungan perkawinan
antara suami-istri, atau antara keluarga perempuan dan keluarga laki-laki,
tetapi seluruh kumpulan masyarakat di suatu wilayah. Perkawinan itu memiliki
nilai sakral yang meluas, suci, dan bermartabat yang lebih sosialis” .
Gading gajah merupakan simbol penghargaan tertinggi
terhadap pribadi seorang gadis yang hendak dinikahi. Penghargaan atas
kepercayaan, kejujuran, ketulusan, dan keramahan yang dimiliki sang gadis.
Kesediaan menyerahkan mas kawin gading gajah kepada keluarga wanita pertanda
membangun suasana harmonis bagi kehidupan sosial budaya setempat. Pernikahan
gadis asal Adonara selalu ditandai dengan pembicaraan mas kawin gading gajah
Di masyarakat Adonara dikenal lebih kurang lima jenis
gading (dalam bahasa lamaholot, gading = bala). Namun, jika sang pria menikahi
perempuan yang masih berhubungan darah dengannya, maka dia akan kena denda,
yakni memberi tambahan dua jenis gading sehingga totalnya menjadi tujuh jenis
gading (Ata Kebel’en = kaum bangsawan). Kelima jenis gading itu adalah,
pertama, bala belee (gading besar dan panjang) dengan panjang
satu depa orang dewasa. Kedua, bala kelikene (setengah depa
sampai pergelangan tangan), kewayane (setengah depa sampai
siku), ina umene(setengah depa sampai batas bahu), dan opu
lake (setengah depa, persis belah dada tengah). Dua jenis gading
tambahan yang biasa dijadikan sebagai denda ukurannya ditentukan sesuai dengan
kesepakatan.
Satuan yang dipakai untuk menentukan besar atau kecil
sebatang gading adalah depa, satu depa orang dewasa (rentangan tangan dari
ujung jari tengah tangan kiri ke ujung jari tengah tangan kanan).
Juru bicara keluarga biasanya memiliki keterampilan
memahami bahasa adat, tata cara pemberian, ungkapan-ungkapan adat, dan
bagaimana membuka dan mengakhiri setiap pembicaraan. Tiap-tiap juru bicara
harus mengingatkan keluarga wanita atau pria agar tidak melupakan segala hasil
kesepakatan bersama.
Juru bicara pria bersama orangtua calon pengantin pria
selanjutnya mendatangi keluarga wanita. Kedatangan pertama itu untuk
menyampaikan niat sang pria menikahi gadis pujaannya. Biasanya pasangan yang
saling jatuh hati ini masih memiliki hubungan kekerabatan, yang sering disebut
anak om atau tanta.
Kedekatan hubungan ini memang direstui dan dikehendaki
adat, tetapi sering bertentangan dengan hukum agama. Kalau ada kasus-kasus
seperti itu, hal tersebut juga dibahas pada saat koda pake,
pembahasan resmi mengenai adat perkawinan antara keluarga besar calon pengantin
pria dan keluarga besar calon pengantin wanita.
Oleh karena itu, kedua pihak juga perlu menentukan
waktu pertemuan bersama calon pengantin masing-masing, menanyakan kebenaran dan
keseriusan kedua calon pengantin membangun rumah tangga baru. Jika ada
pengakuan terbuka di hadapan kedua pihak orangtua, pertemuan akan dilanjutkan
ke tingkat keluarga besar dan akhirnya memasuki tahap pembicaraan adat
sesungguhnya, koda pake. Pada Koda Pake itulah disepakati
jumlah gading yang dijadikan mas kawin, besar dan panjang gading, serta kapan
gading mulai diserahkan.
Penyerahan gading berlangsung pada tahap Pai
Napa. Pada acara ini pihak pria menyerahkan mas kawin berupa gading gajah
disertai beberapa babi, kambing, ayam jantan, dan minuman arak. Di sisi lain,
pihak wanita menyiapkan anting, gelang dari gading, cincin, rantai mas, serta
kain sarung yang berkualitas. Selain itu, perlengkapan dapur, mulai dari
alat memasak sampai piring dan sendok makan.
Meski tidak dipatok dalam proses Pai Napa,
pemberian dari pihak wanita kepada keluarga pria merupakan suatu kewajiban
adat. Perlengkapan dari pihak wanita harus benar-benar disiapkan dan nilainya
harus bisa bersaing dengan nilai gading.
Keluarga wanita akan merasa malu dengan sendirinya
jika tidak mempersiapkan perlengkapan tersebut, atau nilai dari barang-barang
itu tidak seimbang dengan nilai gading, babi, kambing, dan ayam yang disiapkan
keluarga pria. Keseimbangan pemberian ini supaya kedua pihak dapat merayakan
pesta adat di masing-masing kelompok.
Wanita akan menjadi sasaran kemarahan dan emosi
keluarga pria jika pihak keluarga wanita tidak menyiapkan “imbalan” sama
sekali. Di sinilah biasanya awal kekerasan terhadap perempuan dapat terjadi,
bahkan tidak jarang berakhir dengan perceraian.
Belakangan ini dikenal satu istilah gere rero
lodo rema, atau gere rema lodo rero.Artinya, gading gajah hanya
dibawa siang atau malam hari ke rumah pihak keluarga wanita, dan pada malam
atau siang hari dibawa pulang ke pemiliknya. Kehadiran gading itu hanya sebagai
simbol, memenuhi tuntutan adat. Pihak wanita tidak harus memiliki gading
tersebut. Peristiwa seperti ini sering terjadi kalau sang pria yang menikah
dengan gadis Lamaholot adalah orang dari luar lingkungan budaya Lamaholot,
seperti Jawa, Sulawesi, Sumatera, dan Bali.
ADAT
MENETAP SETELAH MENIKAH
Pasangan suami istri yang baru menikah dihadapkan
persoalan baru yang berhubungan dengan dimana mereka menetap/bertempat tinggal
(residence patterns). Secara universal bentuk-bentuk adat menetap setelah
menikah bagi kalangan masyarakat lamaholot (khususnya orang adonara)menganut
pola patrilokal/virilokal dimana tempat tinggal pasangan suami istri yang baru
menikah hidup ditempat yang termasuk daerah keluarga/kerabat ayah suami. Asumsi
dasarnya adalah bahwa masyarakat lamaholot lebih didominasi kaum
laki-laki/suami dalam mencari kehidupan,dan laki-laki adalah pemegang dan
tanggung jawab atas adat yang turunkan secara turun temurun dari nenek moyang.
dan menurut pandangan masyarakat setempat bahwa laki-laki memiliki tanggung
jawab yang besar dalam konteks kehidupan masyarakat, misalnya, bagi masyarakat
adonara laki-laki identik dengan seorang yang perkasa dimana dijaman dahulu
masyarakat adonara merupakan suatu pulau yang penuh konflik/perang antar suku,
desa, atau wilayah.
Oleh karena itu pasangan suami istri yang telah
menikah, bagi masyarakat lamaholot yang mengikuti garis keturunan laki-laki
(patrilokal) mengikuti adat virilokal yang mendiami uma lango (rumah suami)
dalam mengikuti semua adat yang ada dipihak suami. Dan dalam hal pemberian nama
pada keturunannya, walaupun tidak semua tetapi lebih didominasi pada pihak
suami yang memakai nama moyangnya pada anak-anaknya.
TARIAN
DOLO-DOLO
Tarian
Dolo merupakan salah satu tarian lain dari kultur masyarakat Adonara. Tarian
inimelambangkan nilai-nilai persahabatan dan seringkali dimanfaatkan oleh kaum
muda untukmencari pasangan.Tarian ini biasanya dimainkan oleh para pemuda/i
pada waktu-waktu tertentu,mis acara syukuran, pada malam bulan purnama dll.
Dalam
tarian ini, setiap peserta (siapa saja boleh mengikuti tarian ini) akan
salingmentautkan jari kelingking dan membentuk lingkaran. Jika peserta banyak,
lingkaran bisa terdiridari 3 lapis atau lebih. Para peserta akan saling
melantunkan pantun dan saling berbalasan.Tarian ini akan berakhir jika sudah
tidak ada lagi peserta yang bisa membalas pantun yangdinyanyikan oleh peserta
lainnya. Selama masih bisa berbalas-balasan, tarian ini tidak
akan berakhir.
Tiada ulasan:
Catat Ulasan